Rabu, 13 Mei 2015

SELAMAT PAGI TOKYO!

"Di suatu pagi, kamu bisa menjumpai matahari yang terbit dari negara lain, jika kamu memperjuangkan mimpi itu dengan penuh keyakinan diri"

Malam ini aku terhempas di kursi bandara Haneda lantai paling atas. Aku begitu bahagia bisa sampai di Tokyo, yang dulu hanya kudapati di buku-buku yang aku baca atau mengintip dari foto-foto yang beredar di internet. Seraya tak percaya, aku benar-benar sampai di Tokyo, yang katanya kota termahal di dunia. Ku lihat kedua temanku tertidur pulas di atas kursi bandara, lelah setelah sepanjang siang di pesawat dari Kuala Lumpur menuju Haneda. Ada dua anak IPB yang tak mau melewatkan malam, berjalan keliling bandara sambil mengabadikan gambar dengan wajah ceria.





Ku dapati pagi yang aku impikan, pagi di negeri orang, pagi di kota Tokyo, pagi penuh kebahagiaan. Aku masih d bandara Haneda, bandara yang kukagumi kebersihannya, keramahannya, hingga keamanannya. Rasanya aku tak ingin melewatkan barang sejenak untuk sekedar mengizinkan mata terpejam, kota ini membuatku terperanjat dalam peraduan kebahagiaan. Aku belum melihat kota, aku baru melihat bandara. Tapi sungguh, aku sudah sangat bahagia!

aku tak sabar ingin segera berlari ke luar. melihat Tokyo di peraduan pagi.

Sampailah kami pukul tujuh pagi, setelah berkemas kami melanjutkan perjalanan ke bandara Narita. Berbekal peta dan bahasa inggris seadanya untuk modal bertanya, agak lega karena ada dua anak laki-laki IPB yang membersamai untuk acara yang sama. Kami naik kereta dan melewati pagi di kota Tokyo dengan bahagia yang membuncah. Aaaaa!!!! Selamat pagi Tokyo, dengan bangunan yang berderet seraya menyapa selamat datang "Tria", aku tak membiarkan mata ini mengalihkan pandangannya dari jendela kereta. Jalanan tertata rapi, tak tampak satu pun perumahan kumuh seperti pemandangan KRL di Jakarta. Semuanya serba bersih dan terlihat berbahagia, seperti hati iniyang sedang lelompatan girang, membayangkan bisa bertemu toto chan, yang sekolah di gerbong kereta.

Ini kali pertama aku keluar dari bandara Haneda, naik kereta di Jepang dengan sistem yang luar biasa membuatku bingung sebagai pendatang, bukan karena sistemnya buruk tapi karena adaptasiku yang begitu lama. Jepang kota yang teramat ramah dengan pendatang. Begitu banyak peta, tempat bertanya, hingga petunjuk sampai wifi yang disediakan Cuma-Cuma untuk turis yang datang. Ahhh! The truly Asia!

Kereta benar-benar datang tepat waktu. Berhenti tak geser barang sesenti dari tempat yang seharusnya. Baru masuk di kereta, ada anak perempuan Jepang yang usianya sebaya menyapa “Selamat Pagi” sambil terenyum dengan pipi kemerah-merahan karena cuaca dingin yang memang di suhu satu digit. Sontak kami bahagia, akhirnya ada yang bisa bahasa Indonesia. Ternyata perempuan itu mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Singapore yang memiliki rumah di Pondok Indah Jakarta. Kini sedang pulang, bersama keluarganya. Ia turun lebih dahulu, sebelum aku turun di bandara Narita.



Aku terpukau. Pohon saja tumbuh dengan teramat tertata. Keretanya bersih, mereka benar-benar tak bicara jika bukan hal yang penting atau dengan orang yang mereka kenal. Mereka asik dengan bukunya, aku dan yang lain asik dengan kamera. Tak ingin ada satu momentum yang terlewat dari perjalanan kami di Jepang.

Tak nampak satu pun kemacetan, tak nampak kekacauan, semuanya benar-benar di tempat yang tepat dan berjalan dengan cepat. Orang di jepang terbiasa dengan ketepatan waktu, kedisiplinan yang aku acungi jempol. Aku benar-benar membuktikan bahwa mereka benar-benar mengantri rapi menunggu kereta datang, layaknya prajurit tanpa komando  mereka mematuhi aturan. Sekalipun kereta penuh mereka tetap tertib. Mereka seraya siaga di segala kondisi, Padahal di Jepang jumlah kereta sangat banyak dengan beragam jenis dan sistem yang mebuat klasifikasi harga berbeda-beda di setiap tujuana. Manusia tumpah ruah di stasiun. Jalanan lenggang, tanpa kemacetan. Menggunakan pasmo card, aku naik Jr Line. Mereka mengantri dengan rapi, mulai dari anak kecil hingga lansia. Satu kata, kereeen!



Sebelum sampai di bandara Narita, aku akan mundur ke belakang. Mengisahkan bagaimana perjuangan kami untuk bisa sampai di negeri matahari terbit ini. Perjuangan kami bisa menikmati pagi di Tokyo ini. Perjuangan kami yang benar-benar mengantarkan kami bisa sampai di negara ini.

Tak ada perjuangan yang sia-sia. Ibu mengajarkan aku “Hidup susah harus di latih, hidup kaya dan bahagia ga perlu latihan. Ibu gatau kedepannya nasib kamu gimana, jadi mulai dari sekarang harus terbiasa hidup susah” kata-kata itu nyantol di kepala sampe sekarang. Visionernya seorang ibu menyiapkan anaknya siap di segala kondisi dan situasi. Sebulan yang lalu, pagi kami tak seperti kota ini. Hanya dalam waktu sebulan kami harus menyiapkan semuanya, akan kami list:
  1. Melengkapi riset kami, tentunya berbahasa inggris dengan standar yang telah di tetapkan panitia.
  2. Membuat proposal dan mencari tahu bagaimana kehidupan di Jepang agar kami ada gambaran untuk membuat intenary (road map perjalanan hidup kami selama di Jepang)
  3. Mencari contoh proposal dari teman yang sudah pernah ke Jepang sebelumnya.
  4. Mengurus surat pendanaan dari kampus
  5. Mengurus surat perjalanan ke luar negeri dari sekneg.
  6. Mengurus surat tugas untuk mendapatkan dispensasi tidak kuliah.
  7. Mencari sponsor
  8. Membuat paspor dan visa
  9. Mencari dana untuk membeli tiket
  10. Menyiapkan uang Rp. 45.000.000 untuk kebutuhan kami berempat selama dua pekan hidup di dua negara, Jepang dan Malaysia.

Dan itu rasanya sangat menguras tenaga, ketika pagi datang, kami sudah bersiap mengirim proposal, mengurus banyak hal, mondar mandir berkali-kali revisi memahami cara kerja birokrasi, subuh-subuh sudah ke imigrasi, sampai jam dua pagi masih rapat pencarian dana. Sungguh, setiap hari kami berdoa, semoga dalam sebulan seluruh list kerumitan itu menuai jalan keluar dan Jepang menjadi jawaban.

Seperti tak percaya, H-10 kami belum juga memiliki uang untuk berangkat ke negeri ini, paspor belum jadi, visa masih tahap harap-harap cemas, aku masih sibuk lomba di Palembang dan hari ini kami benar-benar sampai di Tokyo. 18 Maret, kaki kami benar-benar sampai di Tokyo. Di bagian yang lain kami akan menceritakan bagaimana Rp. 45.000.000 kami dapatkan di H-6 hari. Kami juga akan menceritakan, bagaimana perjuangan keluargaku mengganti KTP dan Kartu Keluargaku karena ada kesalahan yang membuat permohonan paspor ku di tolak. Cerita hari ini cukup sampai matahari Tokyo menyapa kami. Menyapa mimpi yang hampir kami lupakan. Menyapa relung hati, “Sungguh, janji Tuhanmu yang manakah yang engkau ragukan”. Selamat pagi Tokyo, selamat pagi ibu, biar saja ibu tak berijazah sekolah dasar, yang penting anaknya bercita-cita besar. Peluk sayang dari Tokyo pagi ini. –Tria


Semangat Berjalan,
Tria, Imaf, Widia, Rizqa, Andi, Anit
Hisas Jepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar