Minggu, 26 April 2015

POSKO KARYA (ANAK) BEM UNS

“Karena terkadang kita lebih mudah menghitung nikmat yang hilang ketimbang nikmat yang datang. Maka selezat-lezatnya nikmat adalah nikmat yang disyukuri” - Tria

SEBUAH AWALAN
Sedang heboh di media, dimana banyak netizen memberi kritik, saran hingga dukungan untuk berita pro kontra terkait pembukaan posko relawan yang akan menjemput Jokowi pulang ke Solo yang dianggap bubar jalan. Posko tersebut di buka baru pekan ini. Bagi saya, apa-apa yang sedang diperjuangkan BEM UNS niatannya baik, mengawal keberjalanan pemerintah, hanya saja terkadang jalannya yang berbeda-beda salah satunya dengan membuka posko relawan ini. Karena kalau melulu demonstrasi juga di anggap tidak konkret, maka ikhtiar mengkonkretkan pengawalan dilakukan, semoga yang mengemban amanah dikuatkan untuk mencapai tujuan didirikannya posko tersebut. Intinya “Kita boleh tersesat di jalan, tapi tidak boleh tersesat di Tujuan” Pesan penulis buku yang berjudul Teman Imaji karya ka Uti.

BERIKUTNYA
Banyak sekali yang menanyakan kepada saya, sebagai aktivis yang dibesarkan di BEM. BEM itu bisa berkarya apa sih selain demonstrasi? Maka saya akan menjawabnya dengan karya yang telah saya dan beberapa teman alami yang merupakan efek menjadi anak BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa adalah organisasi pergerakan di bidang sosial dan politik. Organisasi intra kampus ini ada di lingkup universitas maupun di fakultas. Hikmah dari menjadi anak BEM bagi saya adalah memiliki banyak relasi, belajar open mind yang membuka cakrawala berfikir dan belajar memikirkan negara sedari muda. Sejujurnya jika dituliskan apa saja keuntungan menjadi anak BEM, rasanya tak tuntas barang sekertas.



Begitu banyak tuntutan sebagai mahasiswa, di tuntut pintar, mandiri, bermanfaat hingga bermartabat. Di tuntut pintar bisa di tempuh dengan belajar akademik dan ikut Himpunan Mahasiswa Jurusan (sosiologi). Di tuntut mandiri bisa dengan cara ikut kompetisi, menorehkan prestasi dan ikut seleksi beasiswa disana-sini. Di tuntut bermanfaat dan bermartabat bisa dengan ikut organisasi, BEM bisa menjadi pilihan untuk mengupgrade diri. Maka setiap kamu mengambil satu sks, kamu harus bertanggungjawab dengan 50 menit belajar di kelas, 50 menit menerapkannya di organisasi dan 50 menit melatih mental di kompetisi. Begitulah didikan Pak Drajat Tri Kartono kepada saya mahasiswanya. Dengan begitu kamu akan tetap menjadi aktivis yang berkualitas.

Ketika banyak yang mengatakan bahwa anak BEM ga ada prestasi, saya dan teman-teman mencoba membuktikannya dengan karya sebagai bukti nyata. Saya dan Rizqa memang hanya menjadi bawahan menteri, tapi prestasi tak mengenal posisi. Selama di BEM kami menjuarai dua kejuaraan lomba debat tingkat nasional. Eka yang menjadi wakil presiden BEM FMIPA juga membersamai kami dalam setiap kejuaraan. Saya, Alvian, Rizqa, Safira juga maju mewakili jurusan untuk seleksi mahasiswa berprestasi di fakultas kami masing-masing, dan kami berhasil masuk tiga besar mawapres  fakultas. Saya, eka, rizqa dan Tyar juga ikut dalam kompetisi ilmiah, Tyar di bidang arsitektur, kami bertiga di karya tulis ilmiah. Ahh itu kan tingkat nasional, apa anak BEM bisa menembus prestasi di tingkat internasional? Kami menjawab bisa! Saya, imaf, dan rizqa baru sebulan yang lalu pulang dari Jepang untuk mempresentasikan project sosial based riset kami di Universitas Hokkaido, Ka Siswandi Presiden BEM nya juga lolos kizuna project, dan masih banyak lagi. Alvian menjajaki tiga negara gratis juga karena prestasinya di mawapres. Namun membiacarakan kekurangan anak BEM jauh lebih menjual ketimbang prestasinya, seperti membicarakan kekurangan pemerintah jauh lebih mudah ketimbang mengingat prestasi dan pencapainnya. Padahal negara ini memiliki banyak pencapaian salah satunya lewat karya anak BEM di Indonesia.




POSKO KARYA BEM UNS
Sebagai anak BEM tentunya aksi dan demonstrasi bukanlah suatu alergi. Karena organisasi saya sosial politik, saya lebih berat pada sosialnya ketimbang politik. Bagi saya, biarkan yang lain berpolitik, biar saya yang bersosial. Dengan begitu kedua aspek BEM bisa dipenuhi tanpa harus memaksakan kesukaan dan pilihan seseorang. Saya juga pernah turun aksi, saya juga pernah orasi, tapi saya lebih menyukai orasi di panggung-panggung debat dan di masyarakat. Itulah mengapa, didikan orasi di BEM ketika demonstrasi bisa menjadi bekal ketika saya KKN, ketika saya turun di masyarakat, mengikuti lomba dan menjadi pembicara. Tak ada pelajaran yang sia-sia, tak ada jurusan kuliah tanpa lapangan pekerjaan dan tak ada pula kebaikan tanpa balasan dari Allah SWT. Dan teman-teman yang lain mengisi panggung-panggung demonstrasi dengan orasi kebanggannya. Keduanya tak merugikan negara, malah menjadi media pembelajaran tersendiri sebagai mahasiswa. Yang salah jika anak BEM hanya diidentikan dengan demonstrasi, tapi enggan mengakui prestasi dan pengabdian diri anak BEM di lain sisi.

“Tak mungkin dalam satu tahun kabinet berjalan, ada BEM yang sanggup setiap hari aksi.Mereka lebih banyak menghabiskan diri untuk bersosial, berjejaring, berprestasi dan sesekali aksi demonstrasi.” –Tria

TAK PERNAH MEYESAL
Jadi apapun pemberitaan BEM sekarang, saya dan teman-teman tak pernah menyesal pernah berada didalamnya. Wartawan tetap objektif, ketika kami berhasil menoreh karya, kami tetap dianggap juara. Dengan cara berkarya, kita bisa menunjukan taring organisasi, apalagi di forum-forum intelektual. Lantas untuk apa disesali, karena usaha yang besar senantiasa hadir dengan pencapaian yang tak bisa dibayar. Selamat berkarya BEM dimanapun di jagat raya ini, karena tak ada kisah kebaikan mengkhianati pemiliknya.

ALLAH MAHA BERLEBIHAN
Dan Allah senantiasa menjadi teman. Allah maha berlebihan. Apa-apa yang saya impikan, senantiasa diberi berlebih. Saya dulu hanya bermimpi bisa melihat tulisan saya masuk koran, tapi pekan ini sudah empat pemberitaan saya di berbagai koran dan kesemuanya selalu mencantumkan saya sebagai anak BEM. Ternyata sekalipun kamu tidak di BEM, BEM tetap melekat diplakat kehidupan. Allah mengabulkan impian melebihi apa yang dibayangkan. Ketika dulu bermimpi bisa masuk televisi, kini empat liputan saya sudah diterima produser NET TV untuk ditayangkan. Ketika saya bermimpi untuk menjadi penulis koran, Allah menjadikan saya penulis di tiga buku yang diterbitkan bahkan menjadi sosok untuk Joglosemar dan Rising star bagi Solopos. Sungguh, Allah maha pandai membuat hamlah doa banya bermimpi lebih tinggi dan melangkah lebih jauh. Selamat bermimpi sayang, karena mimpi adalah doa yang digenggam dalam sujud-sujud sepertiga malam.


“Karena bagi saya yang terpenting bukan lagi nama organisasinya, tapi organisasi yang mampu mebuat namanya bersejarah melalui didikannya” -Tria

Minggu, 19 April 2015

JIKALAU SAYA TIDAK MEMULAI

Bismillah,
Jikalau saya tidak pernah memulai, mungkin saya tidak akan pernah menuai. Jikalau saya tidak bersikeras untuk berbuat, maka tak akan banyak hal yang akan saya dapat. Jikalau saya hanya berani berandai, mungkin semuanya kini saya hanya bisa menikmati buai-buai. Karena sejatinya apa yang kita pilih, itu yang akan menentukan. Pertanyaannya, apa pilihanmu untuk langkah hidupmu?



Pergi jauh dari rumah, merantau di kota Solo. Hal yang selalu saya pertanyakan dalam benak adalah “apa yang bisa kamu berikan untuk kota ini”. Bagi saya, solo tidak hanya memberi ruang untuk hidup, tapi memberi ruang untuk saya tumbuh dan berkembang baik secara pemikiran, pembelajaran hingga ruang-ruang dimana nurani berkumpul dan mengepulkan rasa kemanusiaan.

Bagi saya, Solo membuai banyak hal. Kenyamanan dan keramahan kotanya membuat saya hidup dengan nyaman, membuai mimpi-mimpi saya untuk tumbuh tinggi mengalahkan tingginya tower paragon. Membuat saya berharap, semua kota seramah kota Solo ini. Namun siapa sangka, di balik keramah tamahan dan kenyamanan kota yang penuh dengan event budaya ini, ada sebuah panti penampungan milik PMI yang didalamnya ada orang-orang yang bekerja dan bergerak karena hati, untuk merawat dan menyayangi warganya. Siapa warganya? Yakni orang-orang yang dikatakan mengalami masalah kejiwaan atau mental disorder. Terpisah dari keluarga, merindu dengan anak dan suaminya, hingga bermimpi untuk bisa keluar seperti masyarakat pada umumnya menjadikan ruang-ruang di tempat ini sarat dengan perjuangan.

Jangan di kira, yang berjuang dalam hidup ini hanya mahasiswa atau pemerintah. Jangan mengira bahwa yang mengalami kesulitan dan beratnya himpitan hidup hanya kita seorang. Saudara-saudara kami di Griya PMI Peduli mengalami hal yang sama, mereka juga memiliki himpitan dan kesulitan dalam menapaki jalan hidup, tapi mereka masih memiliki mimpi yang mendorong mereka untuk keluar dari kesulitan dan mendapati hak mereka lagi yang lama hilang karena diasingkan.

Bicara soal kebermanfaatan, warga di Griya PMI Peduli jauh lebih mengajarkan banyak arti bermanfaat. Saling membantu dalam hal mencuci pakaian, mencuci alat makan, memasak untuk memberi makan saudaranya yang lain, membersihkan ruang mereka hingga saling menyemangati dengan tatapan kosong penuh makna. Sekalipun dalam hidupnya, ibu itu tak pernah bicara, namun dalam perbuatannya kita bisa memahami bahwa apa yang dilakukannya sarat akan makna.

Kasihan? Iya sejujurnya terkadang saya kasihan, mereka jauh dari keluarga bahkan hilang kontak dengan keluarga dalam waktu yang lama. Tapi terkadang saya yang mengkasihani diri saya sendiri, masih muda, sehat dan dikatapan penuh motivasi, belum bisa memberi banyak arti dan kebermanfaatan untuk orang lain. Hingga akhirnya saya sadar, mereka tak pantas dikatakan gila, mental disorder atau gangguan jiwa. Mereka adalah guru yang tak bertutur perkara ilmu, namun mengajarkan banyak cara untuk bisa memahami kata “bersyukur”. Mereka adalah orang-orang dengan kelebihan yang tidak disoroti, namun kekurangannya penuh caci. Sekali lagi, saya ingin mencaci mereka yang tak punya hati, yang tak bisa melihat bahwa mereka manusia yang sama, memiliki hati dan seperti hal nya kita, memiliki kekurangan dan kelebihan yang ingin di hargai.


“bukan telinga kita yang tuli, tapi nurani yang hilang yang akhirnya tak mampu lagi mendengar suara saudara kita sendiri” –Griya Schizofren