Bismillah,
Jikalau saya tidak pernah memulai, mungkin
saya tidak akan pernah menuai. Jikalau saya tidak bersikeras untuk berbuat,
maka tak akan banyak hal yang akan saya dapat. Jikalau saya hanya berani
berandai, mungkin semuanya kini saya hanya bisa menikmati buai-buai. Karena
sejatinya apa yang kita pilih, itu yang akan menentukan. Pertanyaannya, apa
pilihanmu untuk langkah hidupmu?
Pergi jauh dari rumah, merantau di kota Solo.
Hal yang selalu saya pertanyakan dalam benak adalah “apa yang bisa kamu berikan
untuk kota ini”. Bagi saya, solo tidak hanya memberi ruang untuk hidup, tapi
memberi ruang untuk saya tumbuh dan berkembang baik secara pemikiran,
pembelajaran hingga ruang-ruang dimana nurani berkumpul dan mengepulkan rasa
kemanusiaan.
Bagi saya, Solo membuai banyak hal.
Kenyamanan dan keramahan kotanya membuat saya hidup dengan nyaman, membuai
mimpi-mimpi saya untuk tumbuh tinggi mengalahkan tingginya tower paragon.
Membuat saya berharap, semua kota seramah kota Solo ini. Namun siapa sangka, di
balik keramah tamahan dan kenyamanan kota yang penuh dengan event budaya ini,
ada sebuah panti penampungan milik PMI yang didalamnya ada orang-orang yang
bekerja dan bergerak karena hati, untuk merawat dan menyayangi warganya. Siapa
warganya? Yakni orang-orang yang dikatakan mengalami masalah kejiwaan atau
mental disorder. Terpisah dari keluarga, merindu dengan anak dan suaminya,
hingga bermimpi untuk bisa keluar seperti masyarakat pada umumnya menjadikan
ruang-ruang di tempat ini sarat dengan perjuangan.
Jangan di kira, yang berjuang dalam hidup ini
hanya mahasiswa atau pemerintah. Jangan mengira bahwa yang mengalami kesulitan
dan beratnya himpitan hidup hanya kita seorang. Saudara-saudara kami di Griya
PMI Peduli mengalami hal yang sama, mereka juga memiliki himpitan dan kesulitan
dalam menapaki jalan hidup, tapi mereka masih memiliki mimpi yang mendorong
mereka untuk keluar dari kesulitan dan mendapati hak mereka lagi yang lama
hilang karena diasingkan.
Bicara soal kebermanfaatan, warga di Griya
PMI Peduli jauh lebih mengajarkan banyak arti bermanfaat. Saling membantu dalam
hal mencuci pakaian, mencuci alat makan, memasak untuk memberi makan saudaranya
yang lain, membersihkan ruang mereka hingga saling menyemangati dengan tatapan kosong
penuh makna. Sekalipun dalam hidupnya, ibu itu tak pernah bicara, namun dalam
perbuatannya kita bisa memahami bahwa apa yang dilakukannya sarat akan makna.
Kasihan? Iya sejujurnya terkadang saya
kasihan, mereka jauh dari keluarga bahkan hilang kontak dengan keluarga dalam
waktu yang lama. Tapi terkadang saya yang mengkasihani diri saya sendiri, masih
muda, sehat dan dikatapan penuh motivasi, belum bisa memberi banyak arti dan
kebermanfaatan untuk orang lain. Hingga akhirnya saya sadar, mereka tak pantas
dikatakan gila, mental disorder atau gangguan jiwa. Mereka adalah guru yang tak
bertutur perkara ilmu, namun mengajarkan banyak cara untuk bisa memahami kata
“bersyukur”. Mereka adalah orang-orang dengan kelebihan yang tidak disoroti,
namun kekurangannya penuh caci. Sekali lagi, saya ingin mencaci mereka yang tak
punya hati, yang tak bisa melihat bahwa mereka manusia yang sama, memiliki hati
dan seperti hal nya kita, memiliki kekurangan dan kelebihan yang ingin di
hargai.
“bukan telinga kita yang tuli, tapi nurani
yang hilang yang akhirnya tak mampu lagi mendengar suara saudara kita sendiri”
–Griya Schizofren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar