Menilik
terang pagi, hati selalu menggelisahkan banyak pertanyaan, “Karya apa yang mau
kita buat hari ini Tria? Akankah hari ini lebih baik dari hari kemarin Tria?
Progres apa yang akan kita ciptakan untuk peningkatan kualitas hidup Tria?” dan
keseluruhan dari rentetan pertanyaan itu harus di jawab jika tak mau meyesal
ketika evaluasi malam. Iya, sejatinya hidup senantiasa di beri tuntutan. Ada
deadline yang harus diselesaikan setiap harinya, deadline untuk negara,
deadline untuk keluarga, untuk organisasi, untuk kuliah hingga untuk diri
sendiri.
Dalam
lingkungan sehari-hari, kita akan menemukan banyak sekali perbedaan. Ada
lingkungan yang memaksa kita senantiasa berfikir masalah, masalah bangsa,
masalah negara, masalah kepemimpinan, masalah sentimen sara, hingga masalah
negara lain. Ada lingkungan yang dituntut bicara solusi, “kalau udah tau
masalah pendidikan seperti itu, lo mau apa? Mau protes doang?” dan di tangan
anak-anak muda kreatif masalah pendidikan di balik dengan jawaban “sekolah alam
bengawan solo” yang tahun ini diapresiasi tingkat wirausaha muda mandiri. “Kalau
udah tau masalah negara ini adalah ketidakmerataan beasiswa, terus lo mau keluh
kesah doang?” dan akhirnya di jawab sama temen-temen jeneysis, pemburu
beasiswa, sahabat beasiswa dengan mendistribusikan informasi beasiswa yang
ternyata buanyak banget. “Ketika masalah bangsa ini adalah kemiskinan, terus lo
mau teriak-teriak bantu orang miskin please?” itu semua di balik jadi perpaduan
kolaborasi yang sangat baik oleh mahasiswa untuk mengangkat drajat orang
miskin, marginal, terpinggirkan dengan pemberdayaan seperti Dreamdelion,
Kitabisa, Sahabat Pulau, Flohope, Nalacity, dan lain-lain menjadi suatu
aktivitas masyarakat yang produktif.
Dunia ini
sudah sesak dengan orang yang berkeluh kesah, aku pun sanggup sehari semalam
berkeluh kesah tak habis-habis dan tak karuan, sungguh jika hanya berkeluh
kesah pun aku bisa, semua juga bisa. Kita butuh generasi yang gelisah, yang
kemudian dari kegelisahan ia melakukan banyak hal, bukan berhenti meneriakan
keluh kesah kemudian hilang. Trial and learning, mencoba sesuatu kemudian
belajar, mencoba yang lain dan menjadi lebih banya belajar, dan terus mencoba
hingga akhirnya tau, “mencari solusi yang tepat, tidak semudah ketika berkeluh
kesah tak berdampak”.
Aku ingin
berkisah sayang, sedikit kisah tentang bagaimana sulitnya berjuang walau
targetnya hanya 9 masjid. Atau satu rumah dengan isinya mental disorder, atau
satu desa dengan pendidikan tertinggal, atau satu keluarga dengan keadaan tidak
menerima anaknya schizophrenia. Sudah sejak Oktober 2014, aku dan teman-teman
mendirikan usaha Lova Laundry. Hingga hari ini, 6 bulan berlalu, kita semua
masih belajar. Belajar bagaimana mengantarkan laundryan tepat waktu, memberikan
pelayanan jasa terbaik, memastikan pakaian di cuci dengan bersih dan kembali
dalam keadaan wangi, memberikan pelayanan terbaik untuk fasilitas laundry
gratis alat ibadah, hingga belajar pembukuan company yang baik dan benar. Dan
subhanallah! Rasanya luar biasa. Senikmat-nikmatnya pelajar adalah kesempatan
belajar. Visi misinya sederhana, Lova Laundry bisa menjadi bisnis sosial yang
suistanable development dengan target sasaran, memastikan seluruh masjid kampus
bisa laundry gratis dengan keadaan mukena dan sarung yang membuat setiap insan
beribadah untuk Allah-nya merasa nyaman. Namun misi sesederhana itu saja, jika
diimplementasikan tak semudah ketika kita protes “kenapa pengurus masjid di
sini ga memperhatikan kebersihan? Mukena bau dan apek. Bener-bener ga mutu.”
Begitu juga
ketika kita berusaha untuk memastikan bahwa kita mampu mewujudkan pendidikan
berkualitas dan merata di seluruh Indonesia. Sampailah aku ketika mengajar di
Sumatera, Entikong Kalimantan, Polman Sulbar, Banda Aceh, bahwa pendidikan yang
kita desain dan konsep di kota itu ga sesuai dengan kebutuhan anak-anak disini.
Mereka tak butuh Layar besar dengan proyektor canggih di kelas, mereka hanya
butuh jendela karena muatan kelasnya melebihi bangku yang disediakan, dan di
desa mereka tidak ada listrik jika siang. Mereka juga tak butuh kurikulum
berbahasa inggris dengan standar internasional, mereka hanya butuh guru
pengajar yang datang setiap hari ke sekolah dengan senyum sumringah. Iya,
ternyata untuk mewujudkan hal terkecil dari pendidikan berkualitas, juga tak
semudah ketika kita berkeluh kesah dan protes menuntut pendidikan harus a,b,c
tapi tak meluangkan waktu barang sejenak untuk turun ke lapangan langsung dan
melihat bagaimana pendidikan sebener-benarnya di jalan.
Begitu juga
ketika kita berikrar, ingin memudahkan dan mengangkat kehidupan orang-orang
dengan gangguan jiwa. Sungguh banyak sekali rintangan, kendala, hingga proses
panjang untuk bisa menciptakan kebermanfaatan dan dampak nyata bagi mereka.
Namun secara
keseluruhan, aku bersyukur dengan kemurahan Allah memberi semangat dari banyak
arah. Memberi kesempatan belajar baik disadari maupun tidak disadari. Memberi
tahu “siapa kawan siapa teman yang menikam belakang”. Semua bisa kita pelajari
jika kita mau berproses. Mencari keuntungan besar dengan tidak mengelak jika
resikonya juga besar.
Aku
bersyukur sudah tergabung di beberapa forum nasional sejak awal kuliah, yang
ketika kami dikumpulkan, kami selalu di tuntut berfikir solusi yang akan
direkomendasikan dan syukur-syukur bisa diimplementasikan di daerah
masing-masing. Aku juga bersyukur, sejak awal kuliah sudah di ajak presiden BEM
bertemu dengan banyak tokoh, mendiskusikan problem negara ini dengan pemain
langsung di perpolitikan negeri ini, yang membuat aku berfikir terbuka bahwa
masalah Indonesia tak bisa diselesaikan dengan sempitnya wawasan. Aku juga
bersyukur lahir dari keluarga dengan ekonomi yang seadanya, yang membuat aku
berada dilingkaran dengan senyata-nyatanya kemiskinan. Aku bersyukur jika hari
ini aku bisa membantu memudahkan urusan teman perkara skripsi dari jaringan
yang aku miliki. Sudahlah, bersyukur adalah cara termanis menikmati seluruh
perjalanan hidup. “Mau disyukuri atau tidak, hidup sudah ditakdirkan sedemikian
rupa. Siapa yang bersyukur akan ku tambah nikmatnya, siapa yang kufur maka
siksa Allah sungguh perih” –begitu tulisan nabila keponakanku di dinding
kamarnya.
Sekali lagi,
tak perlu difikirkan berlebihan soal pandangan orang lain, mengingat orang
hanya melihat hasilnya bukan prosesnya. Kita yang menjalani prosesnya dan kita
yang bisa menikmati hikmahnya. Selamat siang pejuang, selamat melanjutkan
perjuangan sekalipun tanpa tepuk tangan, Allah maha tahu perkara kebaikan
hambanya! :”)